KEMAKSIATAN BESAR YANG DILAKUKAN OLEH HATI MANUSIA
DOSA-DOSA besar itu tidak hanya terbatas kepada amalan-amalan
lahiriah, sebagaimana anggapan orang banyak, akan tetapi
kemaksiatan yang lebih besar dosanya dan lebih berbahaya ialah
yang dilakukan oleh hati manusia.
Amalan yang dilakukan oleh hati manusia adalah lebih besar dan
lebih utama daripada amalan yang dilakukan oleh anggota
tubuhnya. Begitu pula halnya kemaksiatan yang dilakukan oleh
hati manusia juga lebih besar dosanya dan lebih besar
bahayanya.
KEMAKSIATAN ADAM DAN KEMAKSIATAN IBLIS
Al-Qur'an telah menyebutkan kepada kita dua bentuk kemaksiatan
yang mula-mula terjadi setelah terciptanya Adam dan setelah
dia ditempatkan di surga.
Pertama, kemaksiatan yang dilakukan oleh Adam dan istrinya
ketika dia memakan buah dari pohon yang dilarang oleh Allah
SWT. Itulah jenis kemaksiatan yang berkaitan dengan
amalan-amalan anggota tubuh yang lahiriah, yang didorong oleh
kelupaan dan kelemahan kehendak manusia; sebagaimana
difirmankan oleh Allah SWT:
"Dan sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam
dahulu, maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami
dapati padanya kemauan yang kuat." (Thaha: 115)
Iblis terlaknat tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, yaitu
ketika Adam lupa dan lemah kekuatannya. Iblis menampakkan
kepada Adam dan istrinya bahwa larangan Allah untuk memakan
buah pohon itu sebagai sesuatu yang indah. Ia menipu mereka,
dan menjanjikan sesuatu kepada mereka sehingga mereka terjatuh
ke dalam janji-janji manis Iblis.
Akan tetapi, Adam dan istrinya segera tersadarkan iman yang
bersemayam di dalam hati mereka, dan mereka mengetahui bahwa
mereka telah melanggar larangan Allah; kemudian mereka
bertobat kepada Tuhannya, dan Allah SWT menerima tobat mereka:
"... dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah ia.
Kemudian Tuhannya memilihnya maka Dia menerima tobatnya
dan memberinya petunjuk." (Thaha: 121-122)
Keduanya berkata, "Ya tuhan kami, kami telah menganiaya diri
kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan
memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk
orang-orang yang merugi." (al-A'raf: 23)
"Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya,
maka Allah menerima tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha
Penerima tobat lagi Maha Penyayang." (al-Baqarah: 37)
Kedua, kemaksiatan yang dilakukan oleh Iblis ketika dia
diperintahkan oleh Allah --bersama para malaikat-- untuk
bersujud kepada Adam sebagai penghormatan kepadanya, yang
diciptakan oleh Allah SWT dengan kedua tangan-Nya, kemudian
Dia tiupkan ruh kepadanya.
"Maka bersujudlah para malaikat itu bersama-sama,
kecuali Iblis. Ia enggan ikut bersama-sama malaikat yang
sujud itu. Allah berfirman: "Hai lblis, apa sebabnya
kamu tidak (ikut sujud) bersama-sama mereka yang sujud
itu?" Berkata Iblis: "Aku sekali-kali tidak akan sujud
kepada manusia yang engkau telah menciptakannya dari
tanah liat kering dari lumpur hitam yang diberi bentuk."
Allah berfirman: "Keluarlah dari surga, karena
sesungguhnya kamu terkutuk. Dan sesungguhnya kutukan itu
akan tetap menimpamu hingga hari kiamat kelak.""
(al-Hijr: 30-35)
Itulah keengganan dan kesombongan terhadap perintah Allah
sebagaimana disebutkan dalam surat al-Baqarah:
"... maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan
takabur dan ia termasuk golongan orang-orang yang
kafir." (al-Baqarah: 34)
Iblis membantah dan berkata kepada Tuhannya dengan sombongnya:
"... Aku lebih baik daripada dirinya. engkau ciptakan
saya dari api sedang dia engkau ciptakan dari tanah."
(al-A'raf: 12)
Perbedaan antara kedua bentuk kemaksiatan tersebut ialah bahwa
kemaksiatan Adam adalah kemaksiatan yang dilakukan oleh
anggota badan yang tampak, kemudian dia segera bertobat.
Sedangkan kemaksiatan Iblis adalah kemaksiatan dalam hati yang
tidak tampak; yang sudah barang tentu akan diberi balasan yang
sangat buruk oleh Allah SWT. Kami berlindung kepada Allah dari
segala kemaksiatan tersebut.
Tidak heranlah bahwa setelah itu datang peringatan yang sangat
keras terhadap kita dari melakukan kemaksiatan dalam hati,
yang digolongkan kepada dosa-dosa besar. Kebanyakan
kemaksiatan dalam hati itu adalah pendorong kepada kemaksiatan
besar yang dilakukan oleh anggota tubuh kita yang tampak;
dalam bentuk meninggalkan apa yang diperintahkan oleh Allah,
atau melakukan segala larangannya.
KESOMBONGAN
Sebagaimana yang kita ketahui dari kisah Iblis bersama dengan
Adam, kesombongan dapat mendorong kepada penolakan terhadap
perintah Allah SWT. Dia berfirman:
"Berkata Iblis: 'Aku sekali-kali tidak akan sujud kepada
manusia yang Engkau telah menciptakannya dari tanah liat
kering (yang berasal dari) lumpur hitam yang diberi
bentuk.'" (al-Hijr: 33)
"... Aku lebih baik daripada dirinya..." (Shad: 76)
Atas dasar itulah kita diperingatkan untuk tidak melakukan
kesombongan dan melakukan penghinaan terhadap orang lain;
sehingga Rasulullah saw bersabda,
"Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya
terdapat setitik kesombongan."27
Dalam sebuah hadits qudsi disebutkan,
"Kemegahan adalah kain-Ku, kesombongan adalah
selendang-Ku, dan barangsiapa yang merebutnya dari-Ku,
maka Aku akan menyiksanya." 28
Dalam hadits yang lain disebutkan,
"Seseorang akan dianggap telah melakukan keburukan
apabila dia menghina saudaranya sesama Muslim." 29
"Barangsiapa yang mengulurkan pakaiannya (memanjangkan
pakaian yang dikenakannya secara berlebihan) maka Allah
tidak akan melihat kepadanya pada hari kiamat kelak."30
Selain dari hadits-hadits tersebut, al-Qur'an dalam berbagai
ayatnya mencela orang yang melakukan kesombongan, dan
menjelaskan bahwa kesombongan mencegah banyak orang untuk
beriman kepada Rasulullah saw, sekaligus menjerumuskan diri
mereka ke neraka Jahanam:
"Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan
kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini
(kebenarannya)..." (an-Nahl: 14)
"Maka masuklah pintu-pintu neraka Jahanam, kamu kekal di
dalamnya. Maka amat buruklah tempat orang-orang yang
menyombongkan diri itu (an-Nahl: 29)
"... Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
sombong." (an-Nahl: 23)
"... Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang
sombong dan sewenang-wenang." (Ghafir: 35)
"Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan
dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari
tanda-tanda kekuasaan-Ku..." (al-A'raf: 146)
KEDENGKIAN DAN KEBENCIAN
Dalam kisah dua orang anak nabi Adam yang dikisahkan oleh
al-Qur'an kepada kita, kita dapat menemukan kedengkian (hasad)
yang mendorong kepada salah seorang di antara dua bersaudara
itu untuk membunuh saudaranya yang berhati baik.
"Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua anak Adam (Habil
dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya
mempersembahkan korban, maka diterima dari salah seorang
dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang
lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): "Aku pasti
membunuhmu." Berkata Habil: "Sesungguhnya Allah hanya
menerima (korban) dari orang-orang yang bertaqwa."
"Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk
membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan
tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku
takut kepada Allah, Tuhan seru sekalian alam."
"Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali dengan
(membawa) dosa (membunuh)ku dan dosamu sendiri, maka
kamu akan menjadi penghuni neraka, dan yang demikian
itulah pembalasan bagi orang-orang yang zalim." Maka
hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh
saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, maka jadilah ia
seorang di antara orang-orang yang merugi. Kemudian
Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi
untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana dia
seharusnya menguburkan mayat saudaranya. Berkata Qabil:
"Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat
seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan
mayat saudaraku ini?." Karena itu jadilah dia seorang di
antara orang-orang yang menyesal. (al-Ma'idah: 27-31)
Al-Qur'an memerintahkan kita untuk berlindung kepada Allah
dari kejahatan orang-orang yang dengki.
"Dan dari kejahatan orang dengki apabila dia sedang
dengki." (al-Falaq: 5)
Al-Qur'an mengatakan bahwa hasad adalah salah satu sifat orang
Yahudi.
"Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad)
lantaran, karunia yang telah diberikan oleh Allah kepada
manusia itu.?..." (an-Nisa': 54)
Allah menjadikan hasad sebagai salah satu penghalang keimanan
terhadap ajaran Islam, dan merupakan salah satu sebab penipuan
terhadapnya:
"Sebagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka
dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu
beriman, karena dengki (yang timbul) dari diri mereka
sendiri setelah nyata bagi mereka kebenaran..."
(al-Baqarah: 109)
Rasulullah saw mengatakan bahwa kedengkian dan kebencian
merupakan salah satu penyakit umat yang sangat berbahaya, dan
sangat mempengaruhi agamanya. Beliau saw bersabda,
"Penyakit umat terdahulu telah merambah kepada kamu
semua yaitu: kebencian dan kedengkian. Kebencian itu
adalah pencukur. Aku tidak berkata pencukur rambut,
tetapi pencukur agama." 31
Dalam hadits yang lain disebutkan,
"Tidak akan bertemu di dalam diri seorang hamba,
keimanan dan kedengkian."32
Rasulullah saw bersabda,
"Manusia akan tetap berada di dalam kebaikan selama dia
tidak mempunyai rasa dengki"33
KEKIKIRAN YANG DIPERTURUTKAN
Di antara bentuk kemaksiatan hati yang besar ialah tiga hal
yang dianggap merusak kehidupan manusia, yang kita
diperingatkan oleh hadits Nabi saw untuk menjauhinya: "Ada
tiga hal yang dianggap dapat membinasakan kehidupan manusia,
yaitu kekikiran (kebakhilan) yang dipatuhi, hawa nafsu yang
diikuti, dan ketakjuban orang terhadap dirinya sendiri."34
Banyak sekali hadits yang mencela sifat kikir ini:
"Kekikiran dan keimanan selamanya tidak akan bertemu
dalam hati seorang hamba." 35
"Keburukan yang ada di dalam diri seseorang ialah,
kekikiran yang meresahkan dan sikap pengecut yang
melucuti." 36
"Jauhilah kezaliman, karena sesungguhnya kezaliman itu
adalah kegelapan pada hari kiamat. Dan jauhilah
kekikiran, karena sesungguhnya kekikiran itu telah
membinasakan orang-orang sebelum kamu; karena ia membuat
mereka menumpahlan darah dan menghalalkan hal-hal yang
diharamkan bagi mereka." 37
"Jauhilah kekikiran, karena sesungguhnya umat sebelum
kamu telah binasa karena kekikiran ini. Kekikiran itu
menyuruh memutuskan silaturahmi, maka mereka
memutuskannya; kekikiran itu menyuruh bakhil, maka
mereka bakhil; kekikiran itu menyuruh berbuat keji, maka
mereka berbuat keji." 38
Para ulama berkata, "Kikir adalah sifat bakhil yang disertai
dengan tamak. Ia melebihi keengganan untuk memberikan sesuatu
karena kebakhilan. Bakhil hanyalah untuk hal-hal yang
berkaitan dengan pemberian harta benda saja, sedangkan kikir
berkaitan dengan pemberian harta benda dan juga kebaikan atau
ketaatan. Dan kekikiran yang meresahkan (al-syukhkh al-hali')
ialah yang membuat pelakunya selalu resah, dan sangat gelisah.
Artinya, dia selalu gelisah dan khawatir bila ada haknya yang
diminta orang." Mereka berkata, "Kekikiran selamanya tidak
pernah akan bertemu dengan pengetahuan terhadap Allah. Karena
sesungguhnya keengganan untuk menafkahkan harta benda dan
memberikannya kepada orang lain adalah karena takut miskin,
dan ini merupakan kebodohan terhadap Allah, dan tidak
mempercayai janji dan jaminannya. Atas dasar itulah hadits
Nabi saw menafikan pertemuan antara kekikiran dan keimanan di
dalam hati manusia. Masing-masing menolak yang lain.
HAWA NAFSU YANG DITURUTI
Di antara hal-hal yang dapat membinasakan (al-muhlikat)
manusia sebagaimana disebutkan oleh hadits Nabi saw ialah hawa
nafsu yang dituruti; yang juga diperingatkan oleh al-Qur'an
dalam berbagai ayatnya. Allah SWT pernah berkata kepada Dawud:
"Hai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu penguasa
di maka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara
manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa
nafsu, karena ia akan menyesathan kamu dari jalan
Allah..." (Shad: 26)
Allah SWT berfirman kepada Rasul-Nya yang terakhir:
"... dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya
telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti
hawa nafsunya dan adalah hal itu melewati batas."
(al-Kahfi: 28)
"... dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang
mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk
dari Allah sedikitpun..." (al-Qashash: 50)
"... Mereka itulah orang-orang yang dikunci mati hati
mereka oleh Allah dan mengikuti hawa nafsu mereka."
(Muhammad: 16)
Al-Qur'an menjelaskan bahwa mengikuti hawa nafsu itu akan
membuat seseorang buta dan tuli, dan tersesat tidak mengetahui
apa-apa, hatinya tertutup, sehingga dia tidak dapat melihat,
mendengar, dan menyadari apa yang sedang terjadi di sekitar
dirinya:
"Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa
nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat
berdasarkan ilmu-Nya dan Allah mengunci mati pendengaran
dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya?
Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah
Allah (membiarkannya sesat)..." (al-Jatsiyah: 23)
Oleh sebab itu, Ibn Abbas berkata, "Tuhan manusia yang paling
jelek di bumi ialah hawa nafsu."
Al-Qur'an meletakkan pencegahan hawa nafsu sebagai kunci untuk
masuk surga; sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT:
"Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya
dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka
sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya." (an-Nazi'at:
40-41)
TA'AJUB TERHADAP DIRI SENDIRI
Perkara ketiga yang dapat membinasakan manusia sebagaimana
disebutkan dalam hadits ialah berbangga terhadap diri sendiri.
Sesungguhnya orang yang berbangga terhadap dirinya sendiri
tidak akan dapat melihat aib yang ada pada dirinya walaupun
aib itu sangat besar, tetapi dia dapat melihat kelebihan dan
kebaikan dirinya sebagaimana mikroskop yang dapat memperbesar
hal-hal yang kecil dalam dirinya.
Al-Qur'an telah menyebutkan bagaimana kebanggaan kaum Muslimin
terhadap diri mereka pada waktu Perang Hunain yang menyebabkan
kekalahan, sehingga mereka menyadari keadaan itu dan kembali
kepada Tuhan mereka.
"Sesungguhnya Allah menolong kamu (hai para Mukmin) di
medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan
Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi congkak karena
banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak
memberi manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas
itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari ke
belakang dengan bercerai-berai. Kemudian Allah
menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada
orang-orang yang beriman, dan Allah menurunkan bala
tentara yang kamu tiada melihatnya..." (at-Taubah:
25-26)
Ali r.a. berkata, "Keburukan yang engkau lakukan adalah lebih
baik daripada kebaikan di sisi Allah yang membuatmu berbangga
diri."
Atha, mengutip makna ucapan Ali kemudian dia mengungkapkannya
di dalam hikmahnya: "Barangkali Allah membukakan pintu
ketaatan tetapi tidak membukakan bagimu pintu penerimaan
amalan itu; barangkali Dia menakdirkan bagimu kemaksiatan,
tetapi hal itu menjadi sebab sampainya kamu kepadaNya.
Kemaksiatan yang menyebabkan dirimu terhina dan tercerai-berai
adalah lebih baik daripada ketaatan yang menyebabkan dirimu
berbangga dan menyombongkan diri."
RIYA' (MEMAMERKAN DIRI)39
Di antara kemaksiatan hati yang dianggap besar ialah riya';
yang menyebabkan batalnya dan tidak diterimanya amalan
seseorang di sisi Allah SWT, walaupun pada lahirnya amalan itu
tampak baik dan indah menurut Pandangan manusia.Ketika
berbicara tentang orang-orang munafiq, Allah SWT
"... Mereka bermaksud riya' (dengan shalat) di hadapan
manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali
sedikit sekali." (an-Nisa': 142)
"Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat. Yaitu
orang-orang yang lalai dari shalatnya. Orang-orang yang
berbuat riya', dan enggan (menolong dengan) barang
berguna." (al-Ma'un: 4-7)
"... maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang
di atasnya ada tanah kemudian batu itu ditimpa hajan
lebat, lalu menjadilah dia bersih..." (al-Baqarah: 264)
Sejumlah hadits menyebutkan bahwa riya' merupakan salah satu
bentut kemusyrikan. Amalan yang dilakukan oleh orang yang
riya' tidak dituiukan untuk mencari keridhaan Allah SWT tetapi
dilakukan untuk mencari popularitas, pujian, dan sanjungan
dari masyarakat.
Oleh sebab itu, di dalam sebuah hadits qudsi disebutkan: "Aku
adalah sekutu yang paling kaya. Maka barangsiapa melakukan
amalan dengan menyekutukan diri-Ku dengan yang lainnya maka
Aku akan meninggalkannya dan sekutunya." Dalam riwayat yang
lain disebutkan: "Maka Aku akan berlepas diri darinya, dan Dia
akan bersama sekutunya."40
Ada sebuah hadits yang sangat terkenal, yang diriwayatkan oleh
Muslim dari Abu Hurairah r.a. mengenai tiga orang yang pada
hari kiamat kelak, digiring ke api neraka; pertama adalah
orang yang berperang sampai dia menjadi syahid; kedua adalah
orang yang belajar ilmu pengetahuan dan mengajarkannya, dan
membaca al-Qur'an; ketiga adalah orang yang menafkahkan
hartanya pada kebaikan. Akan tetapi Allah SWT Maha Mengetahui
niat-niat dan rahasia mereka. Allah menyatakan kedustaan
mereka dan menunjukkan bukti-buktinya serta berfirman kepada
setiap orang di antara mereka, "Sesungguhnya engkau
melaksanakan ini dan itu adalah agar supaya orang mengatakan
bahwa dirimu begini dan begitu."
Sesungguhnya kepalsuan dan penipuan yang dilakukan oleh
manusia seperti itu terhadap sesama manusia merupakan sifat
yang sangat buruk. Lalu bagaimana halnya dengan kepalsuan yang
dilakukan oleh makhluk kepada Khaliq-nya. Sesungguhnya
perbuatan seperti itu lebih keji dan lebih buruk Itulah
perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang yang melakukan
riya', yang berbuat untuk memperoleh pujian orang. Dia
melakukan semuanya untuk memperoleh kepuasan orang, yang
bohong dan semu. Maka tidak diragukan lagi bahwa Allah SWT
akan murka kepadanya dan akan mengungkapkan segala rahasia
yang tersimpan di dalam hatinya kelak pada hari kiamat dan
akan memasukkannya ke neraka. Tiada daya dan upaya kecuali
dengan Allah SWT.
CINTA DUNIA
Di antara kemaksiatan hati lainnya yang dianggap besar ialah
cinta dunia dan lebih mengutamakannya daripada akhirat. Hal
ini merupakan sebab setiap kesalahan yang dilakukannya. Bahaya
yang ditimbulkannya bukan terletak pada pemilikan dunia itu,
tetapi keinginan dan ketamakan atas dunia dengan segala macam
perhiasannya. Jika ada kesempatan untuk meraih kepentingan
dunia dan akhirat, maka orang itu lebih mengutamakan
kepentingan yang pertama daripada kepentingan yang kedua. Dan
inilah yang menyebabkan kehancurannya di dunia dan di akhirat
kelak. Allah SWT berfirman:
"Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih
mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya
nerakalah tempat tinggalnya." (an-Nazi'at: 37-39)
"Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan
perhiasannya, niscaya Kami beriman kepada mereka balasan
pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna, dan mereka di
dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang
tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan
lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan
di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan."
(Hud: 15-16)
"Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari orang yang
berpaling dari peringatan Kami, dan tidak mengingini
kecuali kehidupan duniawi. Itulah sejauh-jauh
pengetahuan mereka..." (an-Najm: 29-30)
"Dan apa saja yang diberikan kepada kamu, maka itu
adalah kenikmatan hidup duniawi dan perhiasannya; sedang
apa yang di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih
kekal. Maka apakah kamu tidak memahaminya." (al-Qashas:
60)
Berkaitan dengan urusan dunia, ada sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud dari Tsauban "Rahasia
wahan yang melanda umat ini walaupun mereka jumlahnya sangat
banyak: 'cinta dunia dan takut mati.'"
CINTA HARTA, KEHORMATAN DAN KEDUDUKAN
Cinta dunia itu berbentuk cinta harta kekayaan, cinta
kehormatan dan kedudukan, dengan disertai rasa tamak untuk
memperoleh dua jenis kehidupan dunia itu, sehingga orang yang
hendak mencarinya mengorbankan nilai-nilai dan prinsip-prinsip
kehidupannya asal dapat mencapai apa yang diidam-idamkannya,
sehingga agama dan imannya hilang dari dirinya. Dalam sebuah
hadits disebutkan:
"Dua ekor serigala yang lapar, kemudian dilepaskan di
tengah kawanan kambing, kerusakan yang ditimbulkannya
tidak separah kerusakan yang menimpa keagamaan seseorang
akibat ketamakannya dalam mencari kekayaan dan
kehormatan." 41
Ketamakan memang diperlukan oleh manusia, tetapi dalam kadar
yang wajar. Kalau ketamakan sudah tidak terkendalikan, dan
anginnya berhembus, kemudian hawa nafsunya juga sudah tidak
terkendali, maka ia akan menimbulkan kerusakan; sebagaimana
yang dilakukan oleh dua ekor serigala yang sedang lapar
kemudian berjumpa dengan seekor kambing yang hilang dari
tuannya. Kerusakan itu disebabkan oleh adanya rasa tamak yang
menyebabkan kesombongan dan kerusakan yang sangat dicela oleh
agama itu. Allah SWT berfirman:
"Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang
tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan.
Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang
bertakwa." (al-Qashas: 83)
Di antara tanda-tanda cinta dunia adalah ketamakan terhadap
kedudukan, kerakusan terhadap kepemimpinan, dan senang
menampakkan diri, padahal ia dapat menghancurkan kehidupan.
Nabi saw sangat mengkhawatirkan keadaan ini pada umatnya, dan
bersabda,
"Sesungguhnya kamu kelak akan tamak kepada kepemimpinan,
padahal ia akan menyebabkan penyesalan dan kerugian
kelak pada hari kiamat. Maka alangkah bahagianya orang
yang menyusui dan betapa ruginya orang yang disapih." 42
Nabi saw menyamakan antara manfaat yang diperoleh melalui
kepemimpinan dan orang yang menyusui, serta menyamakan orang
yang disapih dengan pemimpin yang sudah lepas dari jabatannya,
karena mati atau dicopot. Kepemimpinan itu memang mendatangkan
manfaat dan kenikmatan tetapi cepat sekali menghilang, dan
akan berakhir dengan kerugian. Oleh karena itu, orang yang
berakal tidak akan tamak terhadap kenikmatan yang sifatnya
sementara, yang banyak menimbulkan kerugian.
Di antara kemaksiatan hati yang dianggap besar ialah rasa
putus asa dari rahmat Allah SWT.
"... dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.
Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah,
melainkan kaum yang kafir." (Yusuf 87)
"Ibrahim berkata, "Tidak ada orang yang berputus asa
dari rahmat Tuhannya, kecuali orang-orang yang sesat."
(al-Hijr: 56)
Termasuk dalam kemaksiatan hati yang besar juga ialah merasa
aman dan azab Allah SWT. Allah SWT berfirman:
"Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang
tidak terduga-duga)? Tiadalah yang merasa aman dari azab
Allah kecuali orang-orang yang merugi." (Al-A'raf: 99)
Kemaksiatan besar lainnya ialah merasa senang apabila kekejian
menyebar di dalam kaum Mukmin. Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita)
perbuatan amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang
yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan
di akhirat..." (an-Nur: 19)
Itulah sebagian kemaksiatan besar yang dilakukan oleh hati
manusia atau hal-hal yang dapat membinasakan kehidupannya, dan
hanya sedikit sekali orang yang peduli terhadapnya karena
mereka lebih memperhatikan kepada amalan-amalan lahiriah,
berupa ketaatan yang dianjurkan dan kemaksiatan yang dilarang.
Kemaksiatan hati itulah yang oleh Imam Ghazali dinamakan
dengan hal-hal yang merusak (al-muhlikat). Dia mengkhususkan
pembahasan mengenai hal ini tiga perempat bukunya, Ihya' 'Ulum
al-Din. Maka betapa indahnya bila pemeluk agama ini dan para
dainya memberikan perhatian kepada apa yang diutamakan oleh
agama ini, sehingga mereka mau mengerahkan pikiran dan
perasaannya kepada pendidikan dan pengajaran.
HAL-HAL KECIL YANG DIHARAMKAN
Setelah berbicara tentang dosa-dosa besar yang sama sekali
diharamkan oleh agama ini, maka ada baiknya kita juga
berbicara tentang dosa-dosa kecil, yang oleh agama disebut
dengan istilah lamam (remeh) dan muhaqqarat (hina)
Hampir tidak ada orang yang luput dari dosa kecil ini. Oleh
karena itu, dosa-dosa kecil ini sangat berbeda dengan
dosa-dosa besar. Dosa-dosa kecil ini dapat dihapuskan oleh
shalat lima waktu, shalat Jumat, puasa Ramadhan dan qiyam
lail, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits:
"Shalat lima waktu, shalat Jumat kepada shalat Jumat
berikutnya, puasa Ramadhan hingga puasa Ramadhan
berikutnya dapat menghapuskan dosa-dosa kecil, apabila
seseorang menjauhkan diri dari dosa-dosa yang besar." 43
Dalam as-Shahihain, disebutkan bahwa Rasulullah saw bersabda,
"Apakah pendapatmu apabila ada sebuah sungai berada di
depan pintu rumah salah seorang di antara kamu, kemudian
dia mandi setiap dan sebanyak lima kali; maka apakah
masih ada lagi sesuatu kotoran di badannya? Begitulah
perumpamaan shalat lima waktu itu, dimana Allah SWT
menghapuskan kesalahan-kesalahan kecil hamba-Nya." 44
Dalam kitab yang sama disebutkan,
"Barangsiapa berpuasa Ramadhan dengan penuh keimanan dan
keyakinan, maka akan diampuni dosa-dosanya yang
terdahulu."
"Barang siapa yang melakukan qiyam Ramadhan dengan penuh
keimanan dan penuh perhitungan, maka akan diampuni
dosa-dosanya terdahulu."45
Bahkan al-Qur'an menyebutkan bahwa hanya dengan sekadar
menjauhi dosa-dosa besar, maka dosa-dosa kecil akan diampuni.
Allah SWT berfirman: "Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di
antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, maka Kami
hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami
masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga)." (an-Nisa': 31)
Adapun dosa-dosa besar tidak akan diampuni kecuali dengan
melakukan tobat yang benar.
Sedangkan dosa-dosa kecil, hampir dilakukan oleh setiap orang
awam. Oleh sebab itu, ketika Allah memberikan sifat kepada
orang yang suka berbuat baik di antara para hamba-Nya, Dia
tidak memberikan sifat kepada mereka kecuali dengan "menjauhi
dosa-dosa besar dan perbuatan yang keji."
"... dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih
kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada
Tuhan mereka, mereka bertawakkal. Dan (bagi) orang-orang
yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan
keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf."
(as-Syura: 36-37)
"Dan hanya kepunyaan Allah-lah apa yang ada di langit
dan apa yang ada di bumi supaya Dia memberi balasan
kepada orang-orang yang berbuat jahat terhadap apa yang
telah mereka kerjakan dan memberi balasan kepada
orang-orang yang berbuat baik dengan pahala yang lebih
baik (surga). (Yaitu) orang-orang yang menjauhi
dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari
kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhya Tuhanmu Maha Luas
ampunan-Nya..." (an-Najm: 31-32)
Itulah sifat orang-orang yang suka melakukan kebaikan, dan
memiliki sifat yang baik. Mereka menjauhkan diri dari dosa
besar, dan kekejian, kecuali dosa-dosa kecil (al-lamam). Ada
beberapa riwayat dari para ulama terdahulu berkaitan dengan
penafsiran kata "al-lamam" dalam ayat tersebut. Ada di antara
mereka berkata, "Artinya, mereka tahu bahwa perbuatan itu
merupakan suatu dosa, kemudian mereka tidak mengulanginya lagi
walaupun itu dosa besar."
Abu Salih berkata, "Aku pernah ditanya tentang firman Allah
'al-laman' kemudian aku berkata, 'Yaitu dosa yang diketahui
oleh seseorang kemudian dia tidak mengulangi dosa itu
kembali.' Kemudian aku menyebutkan jawaban itu kepada Ibn
Abbas. Maka dia berkata, 'Sungguh engkau telah dibantu oleb
malaikat yang mulia dalam menafsirkan kata itu.'"
Jumhur ulama berkata bahwa sesungguhnya al-lamam adalah berada
di bawah tingkatan dosa-dosa besar. Begitulah riwayat yang
paling shahih diantara riwayat yang berasal dari Ibn Abbas,
sebagaimana disebutkan dalam Shahih al-Bukhari: "Aku tidak
melihat hal yang lebih serupa dengan al-lamam kecuali apa yang
dikatakan oleh Abu Hurairah r.a. dari Nabi saw:
"Sesungguhnya Allah telah menetapkan bagian-bagian zina
terhadap anak Adam. Dia pasti melakukan hal itu. Mata
berzina dengan melakukan penglihatan, lidah berzina
dengan melakukan percakapan, hawa nafsu melakukan zina
dengan berkhayal dan mengumbar syahwat, kemudian farji
membenarkan atau mendustakannya.'" (Diriwayatkan oleh
Muslim). Dalam riwayat itu juga disebutkan: "Kedua mata
melakukan zina dengan pandangan, kedua telinga melakukan
zina dengan pendengaran, lidah melakukan zina dengan
percakapan, dan tangan melakukan zina dengan memukul,
serta kaki melakukan zina dengan melangkah."
Imam Ibn al-Qayyim berkata, "Yang benar adalah pendapat Jumhur
ulama yang mengatakan bahwa al-lamam ialah dosa-dosa kecil,
seperti melihat, mengedipkan mata, mencium, dan lain-lain.
Pendapat ini berasal dan Jumhur sahabat dan orang-orang
setelah mereka; seperti Abu Hurairah r.a., Ibn Mas'ud, Ibn
Abbas, Masruq, dan al-Sya'bi. Pendapat ini tidak menafikan
pendapat Abu Hurairah r.a. dan Ibn Abbas dalam riwayat yang
lainnya: 'Yakni seseorang mengetahui dosa besar itu kemudian
dia tidak mengulanginya lagi.' Karena sesungguhnya al-lamam
sama-sama mencakup keduanya. Ini bermakna bahwa Abu Hurairah
r.a. dan Ibn Abbas bermaksud bahwa ada seseorang yang
melakukan dosa besar satu kali, kemudian dia tidak
mengulanginya lagi, dan hanya sekali itu dilakukan dalam
hidupnya, dan ini dinamakan al-lamam. Kedua orang ini juga
berpandangan bahwa al-lamam juga dapat berarti dosa-dosa kecil
yang lama kelamaan menjadi besar karena sering diulang
berkali-kali. Dan itulah yang dipahami dari pendapat para
sahabat r.a., dari kedalaman ilmu mereka. Tidak diragukan lagi
bahwasanya Allah SWT membedakan toleransi kepada hamba-Nya
satu atau dua kali, atau tiga kali. Yang dikhawatirkan ialah
kesalahan kecil yang seringkali dilakukan sehingga menjadi
kebiasaan. Dan bila sering dilakukan maka akan bertumpuk
menjadi dosa yang banyak." 46
Walaupun syariah agama ini memberikan toleransi dan menganggap
enteng dosa-dosa kecil dan ringan, tetapi dia memberikan
peringatan agar tidak mengentengkannya, dengan terus
melakukannya. Karena semua perkara yang kecil apabila ditambah
dengan perkara yang kecil secara terus-menerus maka akan
menjadi besar. Sesungguhnya dosa-dosa yang kecil dapat menjadi
dosa besar, dan dosa besar mengakibatkan kepada kekufuran.
Kebanyakan api yang besar asalnya adalah api yang kecil.
Sehubungan dengan hal ini Sahl bin Sa,ad meriwayatkan dari
Nabi saw,
"Jauhilah dosa-dosa kecil, karena sesungguhnya
perumpamaan dosa-dosa kecil adalah sama dengan
perumpamaan suatu kaum yang turun ke sebuah lembah.
Kemudian ada seorang di antara mereka membawa satu
batang kayu, lalu ada lagi orang lain yang membawa
sebatang kayu lagi, sampai batang kayu itu dapat
dipergunakan untuk memasak roti mereka. Sesungguhnya
dosa-dosa kecil itu bila dilakukan secara terus-menerus,
dapat membinasakan orang yang melakukannya."47
Ibn Mas'ud meriwayatkan dengan lafal: "Jauhilah dosa-dosa
kecil, karena sesungguhnya dosa-dosa kecil yang berkumpul pada
diri seseorang akan dapat menghancurkannya." Dan sesungguhnya
Rasulullah saw mengambil satu perumpamaan dosa kecil ini
bagaikan suatu kaum yang tinggal di suatu lembah, lalu datang
seorang pembuat roti, kemudian dia menyuruh orang untuk pergi
mencari batang kayu; kemudian orang-orang datang membawa
batang kayu itu sampai jumlahnya sangat banyak. Lalu mereka
menyalakan api dan memasak apa yang mereka berikan kepada
tukang roti itu."48
Ringkasan perumpamaan itu adalah sebagai berikut:
"Sesungguhnya ranting-ranting kayu yang kecil itu ketika
dikumpulkan akan dapat membuat api yang besar dan
menyala-nyala. Begitu pula dosa-dosa kecil dan remeh."
Diriwayatkan dari Ibn Mas'ud: "Orang Mukmin itu melihat
dosanya bagaikan gunung sehingga dia takut tertimpa olehnya;
sedangkan orang munafiq melihat dosanya bagaikan lalat
sehingga dia selalu terjerumus ke dalam dosa. Dengan dosa itu
dia begini dan begitu." 49 (Sambil memberikan isyarat dengan
tangannya yang terombang-ambing).
Imam Ghazali mengatakan dalam bab at-Taubah, di dalam bukunya,
al-Ihya', tentang adanya sejumlah perkara besar karena
perkara-perkara yang kecil, dan perkara yang besar menjadi
lebih besar. Antara lain: Menganggap kecil dosa-dosa yang
kecil dan meremehkan kemaksiatan, sehingga sebagian orang
salaf berkata, "Sesungguhnya dosa yang dikhawatirkan oleh
pelakunya untuk tidak diampuni ialah yang dikatakan olehnya:
'Alangkah baiknya bila seluruh dosa yang saya lakukan
dikhawatirkan seperti ini.' Dosa lainnya ialah yang sengaja
ditampakkan oleh pelakunya. Dalam sebuah hadits shahih
dikatakan, 'Seluruh umatku akan diampuni kecuali orang yang
sengaja melakukan dosa-dosa secara demonstratif.'
Ibn al-Qayyim berkata, "Di situlah kita mesti berhati-hati
dalam melangkah. Karena sesungguhnya dosa besar itu apabila
disertai dengan malu, rasa takut, dan anggapan terhadap
sesuatu yang besar padahal sebetulnya sesuatu itu kecil, maka
dia tidak akan melakukan perbuatan dosa. Sebaliknya, dosa
kecil apabila tidak disertai dengan rasa malu, tidak peduli,
tidak takut, dan meremehkannya, maka dia akan menjadi dosa
besar. Dan bahkan akan menduduki peringkat yang paling tinggi
di antara dosa-dosa tersebut."50
Begitu pula halnya dengan satu kemaksiatan akan berbeda
dosanya sesuai dengan tingkat perbedaan individu yang
melakukannya dan keadaannya. Zina yang dilakukan oleh seorang
bujang tidak sama dengan zina yang dilakukan oleh orang yang
sudah menikah. Dosa zina yang dilakukan oleh pemuda yang belum
menikah dengan orang tua yang sudah menikah tidak dapat
disamakan begitu pula zina yang dilakukan dengan istri
tetangga atau istri orang yang sedang pergi berperang, atau
dengan mahramnya, atau zina pada siang Ramadhan. Dosa zina itu
tidak dapat disamakan. Setiap keadaan akan dinilai secara
tersendiri oleh Allah SWT.
Allamah Ibn Rajab pernah mengatakan sesuatu yang sangat baik,
dan ada baiknya bila saya kutipkan di sini.
Perkara yang diharamkan telah disebutkan dengan sangat jelas
di dalam al-Qur'an; seperti firman Allah SWT:
"Katakanlah: 'Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas
kamu oleh Tuhanmu, yaitu janganlah kamu mempersekutukan
sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua
orangtua, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu
karena takut kemiskinan...'" (al-An'am: 151)
Hingga tiga ayat berikutnya.
"Katakanlah: Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang
keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan
perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang
benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan
sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan
(mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang
tidak kamu ketahui.'" (al-A'raf: 33)
Selain itu, al-Qur'an dalam beberapa ayatnya mengharamkan
secara khusus, beberapa jenis makanan sebagaimana yang
disebutkan di dalam beberapa tempat. Misalnya, firman Allah
SWT:
"Katakanlah: 'Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang
diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang
yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu
bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi
--karena sesungguhnya semua itu kotor-- atau binatang
yang disembelih atas nama selain Allah...'" (al-'An'am:
145)
"Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai,
darah daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih)
di sebut nama selain Allah..." (al-Baqarah: 173)
"... dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain
nama Allah ..." (an-Nahl: 115)
"Diharamkan bagimu memakan bangkai, darah, daging babi,
daging hewan yang disembelih atas nama selain Allah,
yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk,
dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat
kamu menyembelihnya, dan diharamkan bagimu yang
disembelih untuk berhala. Dan diharamkan juga mengundi
nasib dengan anak panah..." (al-Ma'idah: 3)
Al-Qur'an juga menyebutkan perkara-perkara yang ada kaitannya
dengan nikah:
"Diharamkan atas kamu mengawini ibumu, anak-anakmu yang
perempuan ... (an-Nisa': 23)
Ia juga menyebutkan hasil kerja yang diharamkan, misalnya
dalam firman-Nya:
"... padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba..." (al-Baqarah: 270
Sedangkan sunnah Nabi saw yang menyebutkan beberapa perkara
yang diharamkan ialah:
"Sesungguhnya Allah mengharamkan jual beli khamar,
bangkai, babi, berhala." 51
"Sesungguhnya Allah apabila mengharamkan sesuatu, maka
Dia juga mengharamkan harganya." 52
"Setiap yang memabukkan adalah haram." 53
"Sesungguhnya darah, harta kekayaan, dan kehormatan kamu
adalah diharamkan atas kamu." 54
Perkara yang telah dijelaskan di dalam al-Qur'an dan sunnah
sebagai sesuatu yang haram, maka ia adalah tetap haram.
Kadangkala pengharaman itu diungkapkan melalui larangan yang
disertai dengan ancaman yang keras, seperti firman Allah SWT:
"... sesungguhnya meminum khamar, berjudi, berkorban
untuk berhala, mengundi nasib dengan anak panah, adalah
perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapatkan
keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak
menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu
lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan
menghalangi kamu dari mengingat, Allah dan sembahyang;
maka berhentilah kamu dan mengerjakan pekerjaan itu."
(al-Ma'idah: 90-91)
Adapun yang berkaitan dengan ungkapan yang hanya sekadar
melarang, maka orang-orang berselisih pendapat, apakah hal itu
menunjukkan pengharaman ataukah tidak? Ada satu riwayat dari
Ibn Umar yang menyebutkan bahwa hal itu tidak menunjukkan
pengharaman. Ibn al-Mubarak berkata bahwa dia diberitahu oleh
Salam bin Abi Muthi', dari Ibn Abu Dakhilah, dari ayahnya
berkata, "Dahulu aku pernah bersama dengan Ibn Umar yang
berkata, 'Rasulullah saw melarang mencampurkan antara kurma
basah dan kurma kering.' Kemudian seorang lelaki di belakangku
berkata, 'Apa yang dia katakan?' Aku menjawab: 'Rasulullah saw
telah mengharamkan pencampuran antara kurma basah dan kurma
kering.' Maka Abdullah ibn Umar berkata, 'Bohong.' Lalu aku
berkata, 'Tidakkah engkau telah mengatakan, 'Rasulullah saw
melarangnya', maka apakah itu tidak menunjukkan keharaman?'
Ibn Umar menjawab: 'Engkaukah yang menjadi saksi untuk itu?'
Salam kemudian berkata, 'Seakan-akan dia berkata bahwa di
antara larangan Nabi saw adalah termasuk adab.'"55
Telah kami sebutkan di muka tentang para ulama wara', seperti
Ahmad dan Malik yang sangat berhati-hati dalam menggunakan
kata "haram" untuk perkara yang belum diyakini keharamannya,
karena mungkin perkara itu adalah syubhat atau masih
diperselisihkan.
Al-Nakha'i berkata, "Dahulu mereka tidak suka terhadap
beberapa hal yang tidak mereka haramkan." Ibn Aun berkata,
"Makhul berkata kepadaku, 'Bagaimanakah pendapat kamu tentang
buah yang dilemparkan ke tengah-tengah kaum Muslimin kemudian
mereka mengambilnya?' Aku menjawab 'Sesungguhnya buah itu
menurut pendapat kami adalah makruh.' Dia berkata, 'Ia
termasuk hal yang haram.' Aku berkata, 'Sesungguhnya buah itu
menurut pendapat kami adalah makruh." Dia berkata, 'Ia
termasuk hal yang haram.'" Ibn Aun berkata, "Kami kemudian
menjauhinya karena ucapan Makhul itu."
Ja'far bin Muhammad berkata, "Saya mendengarkan seorang lelaki
bertanya kepada Qasim bin Muhammad: 'Apakah nyanyian itu
haram?' Qasim kemudian diam, lalu lelaki itu kembali bertanya,
dan Qasim tetap diam, ia kembali bertanya, lalu Qasim berkata
kepadanya: 'Sesungguhnya haram itu adalah apa yang diharamkan
di dalam al-Qur'an dan Sunnah. Apakah engkau melihat apabila
musik (nyanyian) itu dikaitkan dengan kebenaran dan
kebathilan, maka ke bagian manakah nyanyian itu lebih dekat?'
Lelaki itu kemudian menjawab: 'Kepada kebathilan.' Qasim
kemudian berkata, 'Begitulah seharusnya kamu, dan berilah
fatwa kepada dirimu sendiri.'"
Abdullah bin Imam Ahmad berkata, "Aku mendengar bapakku
berkata, 'Adapun berkaitan dengan hal-hal yang dilarang oleh
Rasulullah saw maka ada beberapa perkara yang diharamkan.
Seperti sabdanya, Seorang wanita dilarang untuk dinikahi atas
saudara perempuan bapaknya atau saudara perempuan ibunya.56
Untuk hal seperti ini adalah haram. Rasulullah saw juga
melarang penggunaan kulit binatang buas,57 maka larangan ini
menunjukkan kepada sesuatu yang haram. Tetapi ada larangan
dari Nabi saw yang menunjukkan bahwa larangan itu hanyalah
sebagai adab.58
Catatan kaki:
27 Muttafaq 'Alaih dari Abdullah bin Amr, al-Lu'lu' wal-Marjan
(57). 28 Diriwayatkan oleh Muslim dalam al-Iman, dari Ibn
Mas'ud (147).
29 Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah r.a. (2564).
30 Muttafaq 'Alaih, dengan lafal dari Bukhari, al-Lu'lu'
wal-Marjan (1439).
31 Diriwayatkan oleh Bazzar dari Zubair dengan isnad yang
baik; sebagaimana dikatakan oleh Mundziri (al-Muntaqa, 1615);
dan al-Haitsami (al-Majma', 8: 3); sebagaimana diriwayatkan
oleh Tirmidzi (2512), yang berkata "Ini hadits yang banyak
sekali riwayatnya."
32 Diriwayatkan oleh Nasai, 6:13; Ibn Hibban dalam Shahih-nya
dari Abu Hurairah r.a. (al-Mawarid, 1597), yang dinisbatian
kepada Shahih al-Jami' as-Shaghir kepada Ahmad dan Hakim
(7620).
33 Diriwayatkan oleh Thabrani dengan rawi-rawi yang tsiqah,
sebagaimana dikatakan oleh al-Mundziri (al-Muntaqa, 174) dan
al-Haitsami (al-Majma', 8:78).
34 Diriwayatkan oleh Thabrani dalam al-Awsath dari Anas dan
Ibn Umar, yang menganggapnya sebagai hadits hasan dalam Shahih
al-Jami' as-Shaghir, 3030 dan 3045.
35 Diriwayatkan oleh Ahmad dari Abu Hurairah r.a. 2:342;
Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad (270); Nasai, 6:13; Hakim,
2:72; yang di-shahih-kan dan disepakati oleh al-Dzahabi; Ibn
Hibban(3251); Syaikh Syu'aib berkata bahwa hadits ini termasuk
shahih li ghairih,.
36 Diriwayatkan oleh Ahmad dan Baihaqi dari Abu Hurairah r.a.,
9:17. Hafizh al-Iraqi berkata dalam Takhrij al-Ihya': "Isnad
hadits ini baik." dan di-shahih-kan oleh Syaikh Syu'aib dalam
Takhrij Ibn Hibban; dan diriwayatkan oleh al-Albani dalam
Shahih al-Jami' as-Shaghir (3709)
37 Diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir.
38 Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ibn Umar (1698); dan
al-Hakim yang menshahihkannya sesuai dengan syarat yang
ditetapkan oleh Muslim, 1:11, dan al-Dzahabi tidak memberikan
komentar apa-apa.
39 Riya' ialah melakukan sesuatu amalan tidak untuk mencari
keridhaan Allah tetapi untuk mencari popularitas atau pujian
dari masyarakat
40 Riwayat yang pertama diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab
az-Zuhd; sedangkan riwayat lainnya diriwayatkan oleh Ibn Majah
(4202). Al-Mundziri berkata. "Para rawinya tsiqah."
(Al-Muntaqa, 21); al-Bushiri dalam az-Zawa'id berkata,
"Isnad-nya shahih, dan rijal-nya tsiqah."
41 Diriwayatkan oleh Ahmad dari Ka'ab bin Malik, 3: 456, 460;
dan diriwayatkan oleh Tirmidzi az-Zuhd. Dia berkata bahwa
hadits ini hasan shahih (2377); al-Manawi menukilnya dalam
al-Faidh dari al-Mundziri yang mengatakan bahwa Isnad hadits
ini hasan (5:446)
42 Diriwayatkan oleh Bukhari dan Nasa'i dari Abu Hurairah r.a.
(Shahih al-Jami,as-Shaghir, 2304)
43 Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah r.a.
44 Muttafaq Allaih dari Abu Hurairah r.a., al-Lu'lu'
wal-Marjan (435); al-Muntaqa min at-Targhib wat-Tarhib, 514.
45 Muttafaq Alaih dari Abu Hurairah r.a. al-Lu'lu' wal-Marjan
(435); al-Muntaqa min at-Targhib 514. Yang dimaksudkan dengan
dosa-dosa di sini ialah dosa-dosa kecil dan bukan dosa-dosa
besar.
46 Lihat Ibn al-Qayyim. Madarij ai-Salikin, 1:316-318, cet.
Al-Sunnah al-Muhammadiyyah, yang ditahqiq oleh Muhammad Hamid
al-Faqi.
47 al-Haitsami mengatakan dalam al-Majma', 10:190: "Hadits ini
diriwayatkan oleh Ahmad dengan rijal yang shahih; dan
diriwayatkan oleh Thabrani sebanyak tiga kali melalui dua
rangkaian sanad, dengan rijal hadits yang shahih selain Abd
al-Wahhab bin al-Hakam. Dia adalah seorang tsiqat. Dia
menyebutkannya dalam Shahih al-Jami' as-Shaghir (2686),
kemudian dia menisbatkannya kepada Baihaqi dalam al-Syu'ab wa
al-Dhiya'"
48 al-Haitsami mengatakan dalam al-Majma', 10:189: "Hadits ini
diriwayatkan oleh Ahmad dan Thabrani dengan rijal yang shahih
selain Imrah al-Qattan, tetapi dia dianggap tsiqat. Al-Manawi
mengutip dari al-Hafiz al-Iraqi bahwa isnad hadits ini
shahih." Al-Alai berkata, "Hadits ini baik, sesuai dengan
syarat yang ditetapkan oleh Bukhari dan Muslim." Ibn Hajar
berkata, "Sanad hadits ini hasan." (Al-Faidh, 3:128)
49 Diriwayatkan oleh Bukhari
50 Madarij al-Salikin, 1: 328
51 Diriwayatkan oleh Ahmad dari Jabir, 3:324,326,340; dan
Bukhari (2236), dan (42961; Muslim (1581); Abu Dawud (3486);
Tirmidzi (1298); Nasai, 7:177,309; dan Ibn Majah (2167)
52 Diriwayatkan oleh Abu Dawud (3488) dari hadits Ibn Abbas
dengan isnad yang shahih.
53 Diriwayatkan oleh Muslim (2003); Abu Dawud (3679); Tirmidzi
(1864); dan Nasai, 8:297 dari hadits Ibn Umar.
54 Sudah pernah disebutkan periwayatan haditsnya dari Abu
Bakrah.
55 Ibn Abu Dakhilah dan ayahnya adalah dua orang yang tidak
diketahui.
56 Diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu Hurairah r.a. (1109),
(1110); Muslim (1408); Abu Dawud (2065) dan (2066); Nasai,
7:97; Ibn Majah (1929).
57 Diriwayatkan oleh Abu Dawud (4132); Tirmidzi (1770) dan
(1771); Nasa'i, 7:167; Hakim, 1:144 dari Sa'id bin Abu Urubah;
kemudian diriwayatkan dari Syu'bah, dari Yazid al-Rusyk, dari
Abu al-Malih, dan Nabi saw dengan cara mursal. Dia berkata,
"Ini lebih shahih." Lihatlah al-Baghawi, Syarh as-Sunnah.
2:99-100.
58 Ibn Rajab, Jami, al-'Ulum wa al-Hukm, yang di-tahqiq oleh
Syu'aib al-Arnauth, yang takhrij haditsnya ada yang telah kita
pergunakan, 2:157-160, cet. ar-Risalah.
------------------------------------------------------
FIQH PRIORITAS
Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah
Dr. Yusuf Al Qardhawy
Robbani Press, Jakarta
Cetakan pertama, Rajab 1416H/Desember 1996M